Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar, Agustus 1970 mengungkap fakta tentang keberadaaan prasasti di Danau Singkarak. Prasasti ini diduga mengungkap peninggalan sejarah Minangkabau. Setelah informasi tahun 1970 tersebut belum ada penelitian lebih lanjut untuk mengungkap dan menggali informasi lebih lanjut dari tentang prasasti tersebut. Keberadaan prasasti in dilaporkan oleh Tim Research Pengumpulan Data-data Sejarah Minangkabau yang diketuai Drs. Hasan Basri. Menurut keterangan penangkap ikan, bagian tangga yang meninggi itu hanya beberapa meter di bawah air permukaan danau, dan di kiri-kanan batu bersurat tersebut terdapat gua-gua,” demikian isi laporan tim yang dikutip dari makalahnya.

Prasasti yang lebih dikenal dengan itilah batu basurek ada di Batu Baraguang, Sumpur, tepi Danau Singkarak. Tapi batu tersebut sudah terbenam beberapa meter ke dalam danau dan di bawah batu basurek tersebut ada terdapat ‘batu bajanjang’ (tangga batu) yang turun ke dalam danau dan di tengah danau tangga tersebut menonjol ke atas dan turun lagi kira-kira 1 km dan naik lagi sampai ke pantai seberang Jorong Sudut Sumpur dikutip dari padangkini.com (30/03/2009). 
Mengenai prasasti batu basurek sudah didokumntasikan oleh Puslitbang Arkeologi Nasional. Prasasti dari batu andesit di temukan di depan Puskesmas Rambatan I tepi Danau Singkarak, Desa Ombilin, kecamatan Rambatan. Tanggal dan tahun pasti ditemukan tidak dketahui secara pasti namun diperkirakan kisaran tahun 1800-an. Saat ini, sudah terinventasi dengan No. Inv.40/BCB-TB/SMB. Penanggalan prasasti sekitar abad ke 14 M tepatnya pada masa raja Adityawarman. sedangkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Sankserta dan Melayu kuno dengan aksara Jawa kuno. Prasasti  merupakan baris 2 sloka.(Bambang Budi Utomo, 2007 :55). Penemuan prasasti ini dapat menjadi acuan utama untuk melihat daearah disekitar danau Singkarak. 
Muhammad Radjab dalam bukunya Semasa Kecil di Kampung pada sub bab Anak Danau Singkarak terbitan Balai Pustaka tahun 1950 menceritakan keberadaan batu besar di sudut utara danau Singkarak jika dipukul suaranya nyaring seperti gong. Daerah ini dinamakan dengan kampung sudut karena memang disana sudut utara danau Singkarak dan daerah batu baragung. Tidak jauh ke timur batu baragung tersebut ada batu besar dengan tulisan Sankserta. Tidak banyak orang yang bisa mendekat kesana karena arus bawah danau yang kuat sehingga mampu  menyeret sampan ke dalam danau. (Muhammad Radjab, Cetakan kelima -2008 : 7-8). 
Lukisan Danau Singkarak Ernst Haeckel 1905 Wanderbilder

Selain, catatan yang masih kontemporer diatas, Danau Singkarak juga diibaratkan lauik nan sahari balayiah dan cerita rakyat yang masih menjadi legenda yaitu terowong yang menghubungkan danau Singkarak dengan danau Maninjau yang erat kaitannya dengan cerita bujang 9 dan letusan gunung tinjua. Cerita rakyat tidak hanya sekedar cerita dongeng saja. Meski berstatus gunung mati, keberadaan Gunung Tinjau yang berada di Danau Maninjau perlu diawasi karena tak tertutup kemungkinan akan menjadi gunung aktif. “Gunung Krakatau misalnya, dulu termasuk gunung mati. Lalu, seiring berjalannya waktu, masuk gunung aktif. Namun karena sudah dikategorikan gunung mati, kita tak ada mempunyai peralatan di sana untuk mendeteksinya,” kata Ade Edward, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Barat (Sumbar), Selasa (9/11/2010), menanggapi kasus kematian sebanyak 1.100 ton ikan keramba jaring apung Danau Maninjau Kabupaten Agam, dengan kerugian mencapai puluhan miliar rupiah dikutip dari Tribunnews.com
Cacatan lain yang tidak kalah menarik dari halaman 7 magnificent book, ” letusan Krakatau” diterbitkan Royal Society oleh Messrs Trubner dan Co, Profesor Judd salah satu pihak berwenang di “Gunung berapi” mengatakan: “Pada periode tidak diketahui beberapa gunung api ini menjadi adegan dari sebuah letusan, atau serangkaian letusan, yang, menilai dari efek mereka telah menghasilkan, harus telah bahkan skala yang jauh lebih besar daripada empat tahun yang lalu menarik begitu banyak kepentingan. Letusan ini mampu memicu letusan gunung berapi yang ada dalam cincin api.
Dalam buku Jawa disebut “Pustaka Raja,” (Kitab Raja-raja) yang berisi sejarah Pulau, ‘ dirahasiakan selama berabad-abad di Royal Arsip, dan hanya baru-baru ini membuat publik, kita menemukan letusan menggelapkan alam “Tahun 338 Saka [yaitu 416 SM], gemuruh terdengar suara dari Gunung Batuwara, Gunung api Pulosari, yang sekarang disebut satu ‘ dari gunung berapi yang telah punah di Bantam, dan terdekat Selat Sunda. (Tulisan Glenbuckie, oleh Henry Johnston). Letusan tersebut saling bersahutan dan datang dari arah barat (Banten sekarang ini) hingga membuat langit gelat dan menyebabkan tsunami. Seluruh dunia ini sangat terguncang, dan gemuruh kekerasan, disertai dengan hujan lebat dan badai, tidak hujan memadamkan letusan gunung api, suara gemuruh luar biasa potongan dan tenggelam ke terdalam Bumi. Air laut naik dan dibanjiri tanah. Daerah di Timur Gunung Batuwara, dan arah barat Gunung Kamula, Gunung Raja Basa dibanjiri oleh laut; penduduk bagian utara negara Sunda.  Gunung Raja Basa tenggelam dan menyapu dengan semua.
“Setelah air surut menggelapkan dan Tanah di sekitarnya menjadi laut dan pulau Jawa dibagi menjadi dua bagian. “Kota Samaskuta, yang menempatkan di pedalaman Sumatera, menjadi laut, air yang sangat jelas, dan yang kemudian disebut Danau Sinkara. Pustaka Raja Purwa tulisan yang ditulis  abad ke-19 oleh seorang pujangga terkemuka Keraton Solo, Raden Ngabehi Ronggowarsito mengatakan ini adalah asal-usul pemisahan Sumatera dan Jawa.”
Dalam tulisan ini  kata kunci yang dapat ditelusuri yaitu Kota Samaskuta dan danau Singkarak. Menurut Masatoshi  Iguchi dalam Java Essay: The History and Culture of a Southern Country. Matador. British halaman 129, Kota Samaskuta adalah Sebuah kerajaan yang ada di pedalaman Sumatera dan tepatnya di  Danau Singkarak.  Dugaan sementara batu banjanjang yang dimaksudkan dalam laporan Tim Research Pengumpulan Data-data Sejarah Minangkabau yang diketuai Drs. Hasan Basri dimungkinkan ini pintu masuk dari kerajaan Samaskuta. Catatan dari pararaton disebutkan bahwa raja yang memerintah adalah Prabu Sangkala.
Potongan-potongan sejarah mulai dari Kerajaan Samaskuta, Danau singkarak, Batu bajanjang, Batu basurek, Batu baragung, letutusan Gunung tinjau, letusan krakatau setidaknya ini memberikan gambaran tentang adanya kerajaan di dasar Danau singkarak. Hal ini dapat digali informasi lebih lanjut agar tidak menjadi samar dan hanya dongeng belaka.(admin)

Satu tanggapan untuk “Danau Singkarak Bekas Kerajaan?”

Tinggalkan Balasan ke poin4D Com Batalkan balasan

Saya Raya

Selamat datang di blog kami, halaman ini didedikasikan untuk Sejarah, Purbakala (Cagar Budaya) dan Pemajuan Kebudayaan di Sumatera Barat yang perlu dilestarikan dan diperhatikan, semakin hari semakin di gerus zaman. Disini kami mengajak anda untuk berpartisipasi atau sekedar berdonasi. Silahkan hubungi kami, Mari kita jaga bersama

Let’s connect

Blog di WordPress.com.